Jumat, 14 Mei 2010

"Kabupaten Indramayu"

.... Sebuah harapan dan cerita 10 tahun lalu ....

“Kabupaten Indramayu” yang menjadi judul tulisan ini sengaja diberi tanda petik, karena wilayah yang dimaksud bukanlah Kabupaten Indramayu yang ada sekarang atau pernah direncanakan atau bahkan terpikirkan sekalipun.


Seperti diketahui, pada kepemimpinan Adang Suryana yang kemudian juga dilanjutkan masa Ope Mustofa pernah terbesit munculnya wilayah baru di sebelah barat Indramayu dengan nama Kabupaten Kandanghaur, Kabupaten Haurgeulis ataupun Kabupaten Indramayu Barat. “Kabupaten Indramayu” yang dimaksud dalam tulisan ini sama sekali lain dengan opini yang sempat masuk dalam agenda sidang para anggota dewan itu.

“Kabupaten Indramayu” bukanlah suatu wilayah belahan dari Kabupaten Indramayu yang ada sekarang setelah dihitung-hitung sampai buntung dengan berdasarkan sumberdaya alam khususnya sumber minyak dan gas, atau dengan patokan luas wilayah yang terbentang dari barat ke timur itu. Tetapi menengok asal muasal alias babak-babakan bin babad-babadan.

Secara ilmiah, hal ini sulit dibuktikan. Bukan hanya karena ketiadaan bukti tertulis, masing-masing narasumber pun lebih banyak ketidaksamaannya dalam menuturkan sebagai imbas subyektivitas.

Berbeda dengan ide-ide pemekaran wilayah Kabupaten Indramayu terdahulu yang memerlukan kajian rumit dan mahal, walaupun ujungnya gagal diterapkan, maka kaji-babad ini langsung saja membelah Kabupaten Indramayu berdasarkan pembabak-nya.

Sebelah timur Sungai Cimanuk yang menembus tepian Mesjid Agung dan Pendopo sekarang, seterusnya ke utara adalah babakan Raden Singalodra yang dikenal sebagai Wiralodra I, putera Bagelen yang dikenal sebagai pendiri Indramayu. Menyeberang jembatan kokoh yang tidak lagi berfungsi sebagainamana layaknya sebuah jembatan itu, karena sebenarnya saat ini lebih menghemat dana kalau diganti jembatan beton pendek atau diurug sama sekali, di sebelah barat Sungai Cimanuk membentang areal yang luas hasil karya Nyi Endang Darma.

Ironisnya, nama Indramayu yang sekarang tidak lain diambil dari nama pembabad wilayah barat Sungai Cimanuk itu. Sehingga tidak terlalu berlebihan bila wilayah tersebut menjadi sebuah daerah otonom maka yang lebih berhak mempatenkan diri sebagai Kabupaten Indramayu.

“Kabupaten Indramayu” merupakan wilayah yang sangat luas. Dari Sungai Cimanuk di timur sampai lika-liku bentangan Salamdarma yang majadi titik balik perbatasan dengan Kabupaten Subang. Luasnya mencapai 158.161,00 Ha atau meliputi 77,5 % dari keseluruhan wilayah Kabupaten Indramayu sekarang (204.011,00 Ha). Secara administrasi, terbagi 16 kecamatan dalam 193 desa yang dipadati oleh 997.837 jiwa sehingga rata-rata kepadatan penduduk setiap desa sebanyak 5.170 jiwa atau terdiri dari hampir 1.500 keluarga/desa.

Kecamatan paling besar adalah Haurgeulis, Cikedung, Sindang, Losarang dan Kroya yang luasnya masing-masing 25.409 Ha, 23.086 Ha, 17.358 Ha, 12.755 Ha dan 11.132 Ha. Bila dihitung lebih lanjut, maka dua kecamatan yang disebut pertama saja lebih luas daripada luas keseluruhan depalan kecamatan yang ada di sebelah timur Sungai Cimanuk. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan wilayah barat masih sangat diperlukan.

Bentangan pantai dari bekas muara pertemuan Sungai Cimanuk dengan bibir pantai memipir Eretan dan seterusnya ke barat sebelum sampai ke Pantai Pondok Bali, hamparan sawah nan luas di setiap celah antar pekarangan yang dijadikan tempat hunian serta kerimbunan hutan yang menjadi pembatas dengan wilayah Kabupaten Subang dan Sumedang, membuka tantangan untuk terus maju tanpa ragu dengan modal sumberdaya alam yang lengkap. Sementara itu di deretan lempeng isi buminya pun terselip banyak minyak dan gas.

“Kabupaten Indramayu” memang harus berbenah, wilayah kecamatan yang super luas sudah saatnya dimekarkan. Mendekatkan aparat pelaksana tersebut dengan masyarakat. Menyempitkan celah ketidak-kenalan antara masyarakat dengan unsur pemerintahan. Lima kecamatan yang disebutkan di atas adalah prioritas yang harus dimekarkan.

Demikian juga desa-desa yang padat penduduk, sudah saatnya para Kuwu makin didekatkan dengan masyarakat. Apalagi kalau jangkauan antar kampung merupakan kendala tambahan karena luasnya wilayah desa.

Adalah kesia-siaan kalau hal ini tidak ditindaklanjuti dengan kualitas pembangunan yang menyentuh masyarakat. Sebab itulah nyawa otonomi daerah, sekalipun banyak Bupati menterjemahkannya sebagai mengejar PAD. Di kabupaten manapun di negeri ini PAD tidak pernah cukup untuk membiayai Belanja Rutin, apalagi Belanja Pembangunan.

Ke-sangat-luasan “Kabupaten Indramayu” mungkin adalah sebab selama ini pembangunan Kabupaten Indramayu belum bisa menyentuh kepedalamannya. Banyak antar kampung yang hanya bisa dicapai dengan jalan setapak ketika musim kemarau. Beberapa desa warganya tidak berdaya harus berteriak “hamdallah” ketika pada musim hujan para kontraktor menyemai aspal di jalanan sampai akhirnya mengelupas dipanen ban-ban yang menginjaknya.

Tidak heran kalau di sebelah barat Sungai Cimanuk ada anekdot yang sangat menggelikan, bahwa orang buta dan tuli sekalipun akan segera tahu ketika mereka memasuki wilayah “Kabupaten Indramayu” itu.

Meniti hutan jati dari Buah Dua ke Ujung Jaya dan seterusnya, tanpa diberitahu telah menyeberangi Sungai Cikamurang sekalipun maka Bang Suli segera tahu kalau dia telah memasuki Indramayu. Apalagi kalau dibawa belok kiri menembus hutan jati menuju Pabrik Penyulingan Kayu Putih lewat jalan propinsi yang lebih layak disebut sebagai kubangan kerbau. Bang Suli dengan tanggap akan segera merasakan iklim aspal Indramayu ketika ke-ngelentrengan laju kendaraan yang ditumpangi dari Subang telah melewai jembatan panjang menjadi pembatas wilayah.

Sangat sulit dimengerti, tapi itulah kenyataan. Kualitas aspal atau pengerjaan dalam satu jalur jalan saja sudah berbeda. Berbagai pihak menuduhnya sebagai ketidak-adilan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Peng-anaktirian akibat perbedaan budaya yang sangat kentara. Banar tidaknya hal ini, perlu kajian lebih lanjut.

Dalih yang mungkin tepat adalah karena jalan jalan yang menembus Hutan Cikawung itu statusnya Jalan Propinsi. Namun ternyata Bang Suli akan lebih tahu lagi posisinya kalau pulang dari Bandung via Subang dan Bantarwaru menembus hutan sampai Cikandung atau bahkan belok kiri ke Sanca. Kondisi kedua jalan itu jauh lebih memprihatinkan sekalipun hampir setiap tahun diguyur anggaran perbaikan.

Jalan Kabupaten yang lain tidak berbeda nyata nasibnya, kecuali antara Larangan sampai Tugu via Lelea. Selain jalur itu, jangan harap bisa melaju dengan sedan ber-bemper rendah.

Akankah ketimpangan yang ada di sebelah barat juga merupakan wujud dari keanaktirian yang diterapkan pengambil kebijakan yang bermarkas di babadan Raden Aria Wiralodra ? Mudah-mudahan, tidak. Di sebelah timur Sungai Cimanuk pun banyak jalanan desa yang masih jauh dari layak untuk disebut jalan. Tidak jauh di belakang Kantor Bupati terdapat daerah yang lebih tepat disebut masih perawan kalau tidak disebut ketinggalan diantara kemajuan kota di dekatnya.

Mungkin yang diperlukan segera adalah pendekatan antara pengambil kebijakan dengan masyarakat yang juga merupakan stakeholders sekaligus penikmat pembangunan. Dimulai dari pemekaran-pemekaran wilayah terkecil sampai akhirnya bukan tidak mustahil terlahir “Kabupaten Indramayu” sesuai dengan pekarangan babakan Nyi Endang Darma ditambah tanah maskawin bangsawan Sumedang yang ditipunya mentah-mentah.

“Kabupaten Indramayu” tentu harus belajar dari Kabupaten Indramayu sekarang, namun tidak boleh mencontek atau bahkan menjiplak mati. Misalnya dalam hal tata-organisasi harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan serta menyelaraskan dengan kemampuan keuangan. Gedung-gedung dan perkantoran yang ada dimanfaatkan secara maksimal, tidak langsung membuat yang baru dan megah menawan. Itulah sebabnya harga pendirian “Kabupaten Indramayu” tidak perlu menyentuh triliunan rupiah sekalipun nilai perwujudannya jauh lebih tinggi dari pada Rp. 9 triliun !

Jabatan Wakil Bupati seperti yang diatur pada Pasal 56 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sungguh belum diperlukan “Kabupaten Indramayu”. Apalagi kalau jabatan politis itu diisi oleh seseorang yang semula harus rela jadi bahan pijakan jalan politis seorang Calon Bupati untuk mendapat dukungan dari golongan atau partai politik tertentu. Sehingga ketika mereka menjadi Bupati dan Wakil Bupati, dibalik kemesraan pasangan tersebut cenderung terjadi gontok-gontokan atau bahkan rontok-rontokan. Keadaan ini tentu saja sangat merugikan masyarakat “Kabupaten Indramayu”, selain pemborosan anggaran belanja rutin yang sangat banyak.

Badan Kepegawaian Daerah (BKD) merupakan prioritas utama yang harus ada dalam tatanan organisasi di “Kabupaten Indramayu”. Penempatan para karyawan sesuai dengan kemampuan, the right man on the right place, hanya akan terwujud apabila badan yang satu ini kuat dan independen.

Sekretariat DPRD memang sangat diperlukan, namun baik eselonering maupun besarnya organisasi diseseuaikan dengan kebutuhan. Dua lapis eselonering sudah cukup, urusan detail jadi tanggungjawab eselon IV, di atas mereka adalah Sekretaris Dewan.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) lebih diperlukan “Kabupaten Indramayu” yang baru lahir dari pada Badan Perencanaan Daerah (Bapeda). Tidak perlu meniru-niru Propinsi Jawa Barat karena memang tidak perlu. Mengurusi masalah pembangunan saja perlu sumberdaya yang sangat handal, apalagi kalau dibebani perencanaan rutin. Biarkan hal terakhir di-handle Bagian Keuangan di Sekretariat Daerah. Oleh karena itu Bappeda bukanlah Badan Pembuangan Pegawai Daerah yang berisi orang-orang afkiran dari Dinas/Instansi lain !

Dinas Kehutanan sangat diperlukan untuk membangun dan menghidupkan serta mengoptimalkan bidang kehutanan yang membentang luas sepanjang perbatasan di sebelah selatan. Demikian juga hutan bakau di daerah utara harus mendapatkan perhatian tersendiri sebelum abrasi mencabik Jalan Nasional yang sampai saat ini merupakan kebanggaan.

Sub Dinas Pariwisata pun jadi bagian penting untuk mengoptimalkan dayaguna wisata bahari dan pantai, wana wisata serta wisata spiritual. Oleh karena itu perlu ditempatkan pada posisi yang tepat, tidak harus bernaung di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sehingga lebih sering harus sekolah lagi daripada mengerjakan tugas dan fungsinya secara optimal.

Sub Dinas Pendidikan Agama di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan bukan hanya tidak harus ada tetapi segala kerjaan dan meja serta personilnya dibiarkan cukup bermarkas di Kantor Departemen Agama yang masih merupakan instansi vertikal.

“Kabupaten Indramayu” mungkin belum perlu Kantor Informasi Penyuluh Pertanian (KIPP), sebab selain menambah beban keuangan daerah juga akan lebih bermanfaat kalau para penghuni kantor itu menjadi bagian tak terpisahkan dari Dinas Pertanian misalnya. Dulu memang KIPP merupakan sumber pemasukkan dana yang mengucur dari Direktorat Penyuluhan, di era otonomi daerah malah menjadi beban yang memberatkan.


Perusahaan Daerah perlu dikaji untung-ruginya, PD BPR yang membuyatak namun buraksantak dari segi per-bank-an tentu tidak perlu diperpanjang umurnya di “Kabupaten Indramayu”. Biarkan mekanisme ini menjadi jalan hidup pihak swasta, mereka berkompetisi untuk akhirnya muncul yang terbaik. Terunggul dalam pelayanan, terindah bagi nasabah dan ter-survive untuk masa depan para karyawannya. Adalah pelajaran yang sangat berharga mata kuliah PD BPR Kabupaten Indramayu, yang setiap tahun disuntik dana ini-itu namun tidak pernah tumbuh sehat atau bahkan makin rentan terhadap penyakit.

Lain halnya dengan PD Pasar, “Kabupaten Indramayu” tentu sangat mengharapkan kehadiran perusahaan ini untuk bisa menggali secara maksimal potensi pasar yang menghampar. Tentu saja sagat keliru kalau harapannya hanya mencukur rezeki pedagang yang sudah kepanjangan, service kepada mereka pun dapat semakin sesuai kebutuhan dengan makin dekatnya sumber pelayanan.

Peraturan Daerah yang paling mendesak di “Kabupaten Indramayu” adalah penertiban becak. Tidak usah mengulangi Kabupaten Indramayu yang ibukotanya harus lama mati menjelang senja. Bahkan bertahun-tahun lamanya, Sang Ibukota tidak terjamah angkutan kota yang murah meriah. Indramayu menjadi kota termahal di bidang transportasi karena kemana-mana harus dengan sopir pribadi, abang becak !

Sebagai wilayah baru yang harus mulai bergerak dari dasar maka para pejabatnya pun harus mau merangkak dari balik meja di perkantoran yang sederhana dengan hanya mendapatkan tunjangan jabatan sebagaimana ditetapkan secara nasional. Mereka tidak memperoleh Tunjangan Observasi, Tunjangan Penunjang Kegiatan atau sejenisnya yang besarnya tidak jauh beda atau bahkan lebih dari tunjangan jabatan. Juga tidak ada jatah untuk Tunjangan Daerah bagi staf dan karyawan lainnya. Karena bagi sebuah daerah otonom baru, pengeluaran semacam itu adalah pemborosan Belanja Rutin yang luar biasa besarnya.

Banyak daerah lain telah membuktikan bahwa tanpa pemberian penghasilan tambahan itu keefektifan tetap terjaga. Beberapa daerah yang memberikan pengeluaran rutin itu, kalau tidak disebut sebagai pemborosan, kinerjanya begitu-begitu juga. Kebocoran dana pembangunan tetap terjadi di sana-sini atau bahkan mejadi-jadi.

Mungkin hal ini terjadi karena adanya persepsi “uang isteri” dan “uang suami”. Gaji, tunjangan dan penghsilan lain yang sama-sama dinikmati pejabat selevel atau tertera pada tanda terima resmi dan diterima secara rutin adalah “uang isteri”. Sedangkan “uang suami” adalah penerimaan lain-lain dan tentu saja bisa untuk belanja lain-lain serta dihasilkan dari sumber lain-lain. Oleh karena itu pemberian tambahan tunjangan pada akhirnya tidak juga berinteraksi positif terhadap kinerja dan tetap selaras dengan kebocoran dana lain-lain.

Perguruan Tinggi merupakan lembaga pendidikan yang sudah sangat mendesak. Namun keberadaanya bukanlah sebagai pencetak ijazah dengan berbagai programnya mulai dari kelas reguler, extension sampai hanya action-action-an. Kontrol terhadap kualitas lulusan sangat diperlukan agar mutu mereka tidak sebatas atas-kuali ! Bukan juga sarjana siap pakai yang bila selesai dipakai harus dibuang di tong sampah.

Lembaga Pendidikan Pasca Sekolah Menengah “Endang Darma Ayu” tidak langsung ujug-ujug jadi sebuah universitas dengan berbagai fakultas dan berjibun jurusan tetapi berkiprah sebagai penyiap para lulusan Sekolah Menengah yang karena keterbatasan modal keintelektualannya belum bisa lulus UMPTN. Pembekalan dan pemantapan baik dari segi pelajaran maupun arah dan tujuan jurusan yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan, agar setelah lulus dari perguruan tinggi tidak menjadi sarjana bermental tinggi yang bisa menggerogoti atau hanya lincah menyelinap di ketek bantal dan kasur.

Lulusan perguruan tinggi favorit yang dihantar atau yang langsung diterima merupakan modal dasar terbentuknya Universitas Endang Darma Ayu. Jumlah fakultas dan jurusan benar-benar disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya yang ada, kebutuhan lulusan keahlian tertentu yang belum bisa ditanggulangi diserahkan kepada yang sudah layak. Hanya ada satu program kuliah, reguler ! Tidak pernah terbesit untuk membuka program extension kalau akhirnya hanya akan meluluskan sarjana aksen yang jauh dari siap action. Cita-cita terakhirnya bukanlah menjadi universitas massal yang mencetak intelektual dengan cap “asal” apalagi pencetak pemegang ijazah “aspal”.

“Kabupaten Indramayu” bukanlah tandingan Kabupaten Indramayu, bukan juga mitra
karena memang sampai sekarang belum ada. Namun “Kabupaten Indramayu” adalah wahana tilik-tilikan dan intip-intipan bagi Kabupaten Indramayu untuk menggapai kesejahteraan yang dulu pernah ditinggalkan dan harus segera diraih kembali sebagaimana diamanatkan Raden Aria Wiralodra, “Indramayu Mulih Harja”.


Sumber :
http://segudang-cerita-tua.blogspot.com/2010/02/kabupaten-indramayu.html
13 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar